Menyusuri Jejak Peradaban Islam Lewat Wisata Islami Turki

Saya selalu bermimpi bisa menginjakkan kaki di Turki—bukan hanya karena arsitekturnya yang indah, atau karena salju di Cappadocia yang sering muncul di Instagram. Tapi karena satu alasan sederhana: saya ingin merasakan sejarah Islam secara nyata, bukan hanya dari buku.

Dan ternyata, ketika akhirnya kesempatan itu datang, saya justru mendapatkan lebih dari yang saya bayangkan. Bukan sekadar jalan-jalan. Tapi sebuah perjalanan batin yang terasa hangat, penuh makna, dan membuka mata akan kekayaan spiritual Islam di luar Arab.

Perjalanan saya dimulai bersama Fitour International, sebuah penyelenggara umroh dan travel halal yang sudah dikenal luas, khususnya di kalangan masyarakat Lombok dan Indonesia Timur. Tapi kali ini bukan umroh—melainkan wisata islami Turki. Dan inilah kisahnya.

Hari Pertama: Istanbul yang Magis

Kami mendarat di Istanbul pagi hari. Udara dingin tapi segar, dan suasana bandara begitu tertib. Begitu keluar, pemandangan langsung disambut oleh siluet menara-menara masjid yang menjulang dari kejauhan. Rasanya seperti masuk ke dalam lukisan.

Destinasi pertama kami adalah Masjid Biru (Sultan Ahmed Mosque). Saya sudah sering lihat fotonya, tapi berada di dalamnya langsung membuat saya merinding. Langit-langitnya megah. Kaligrafinya seperti bisikan zikir yang tak henti. Di sini, saya merasa kecil tapi utuh.

Di sinilah saya sadar, bahwa tour religi ke Turki bukan hanya soal mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Tapi juga soal menyentuh sisi terdalam dari diri sendiri. Menyatu dengan atmosfer yang mengandung ribuan tahun doa dan perjuangan.

Hari-Hari Penuh Nilai dan Cerita

Perjalanan kami terus berlanjut ke Topkapi Palace, tempat para sultan Utsmaniyah dulu memimpin dunia Islam. Di sana ada jubah Rasulullah, rambutnya, bahkan pedangnya. Hati saya nyeri sekaligus bersyukur. Bayangkan, ratusan tahun lalu, orang-orang menjaga benda-benda itu dengan cinta dan penghormatan luar biasa. Saya berdiri di sana, diam, dan hanya bisa menitikkan air mata.

Bersama rombongan lain, kami banyak berdiskusi. Tentang sejarah Khilafah, tentang bagaimana Turki menjadi jembatan budaya antara Barat dan Timur. Tapi yang paling menyentuh adalah ketika kami saling berbagi cerita pribadi. Ada yang baru kehilangan orang tua. Ada yang sedang hijrah. Dan entah kenapa, semua jadi begitu mudah dibuka—mungkin karena energi tempat ini memang penuh rahmat.

Wisata islami Turki seperti ini memang berbeda. Karena semua dipandu oleh tim yang paham betul sejarah dan nilai-nilai Islam, bukan hanya sekadar membawa turis ke spot foto. Ada nuansa keilmuan, kedalaman makna, dan tentu saja, ketulusan dalam setiap sesi perjalanan.

Cappadocia: Di Antara Langit dan Doa

Kalau boleh jujur, saya awalnya hanya tertarik ke Cappadocia karena balon udaranya yang ikonik. Tapi ternyata, tempat ini punya jejak Islam yang kuat juga. Kami mengunjungi kota bawah tanah yang dulu digunakan kaum muslimin untuk bersembunyi dari penjajah. Suasana lorong-lorong itu sunyi dan menegangkan. Tapi sekaligus menggugah kesadaran akan perjuangan orang-orang terdahulu dalam mempertahankan iman.

Di malam hari, kami duduk di rooftop sambil menikmati teh Turki. Langit penuh bintang. Seseorang membaca puisi Rumi. Saya hanya diam. Merenung. Dan merasa begitu damai.

Sufi, Spiritualitas, dan Hati yang Lapang

Di Konya, kami mengunjungi makam Jalaluddin Rumi. Pusara beliau dijaga rapi. Banyak peziarah berdoa dalam diam. Saya duduk di pojok ruangan dan membaca beberapa bait puisinya. Entah kenapa terasa menyentuh, padahal bahasanya bukan bahasa ibu saya.

“Don’t grieve. Anything you lose comes round in another form.”
Saya ulang-ulang kalimat itu. Dan rasanya benar-benar menenangkan.

Kami juga sempat menonton pertunjukan whirling dervish—tarian sufi yang sakral. Semua begitu hening. Hanya iringan musik lembut dan para penari yang berputar dengan mata tertutup. Saya tak paham seluruh maknanya, tapi saya yakin, itu bentuk dzikir yang luar biasa indah.

Pelayanan Fitour yang Hangat dan Ikhlas

Selama perjalanan ini, saya merasa benar-benar dibimbing, bukan cuma diantar. Tim dari Fitour selalu hadir saat dibutuhkan. Membantu jamaah lansia naik tangga. Mengingatkan waktu shalat. Menyediakan makanan halal yang terjamin. Bahkan seringkali menjadi teman curhat.

Salah satu jamaah kami sempat jatuh sakit ringan. Dalam hitungan menit, tim Fitour sudah mengatur transportasi ke klinik, mendampingi selama pemeriksaan, dan terus mengecek keadaannya. Itu hal kecil yang mungkin tidak masuk dalam brosur. Tapi bagi saya, di situlah letak keistimewaan sebenarnya.

Wisata ini bukan cuma soal destinasi, tapi tentang siapa yang menemani. Dan saya bersyukur dipertemukan dengan Fitour.

Pulang dengan Hati yang Penuh

Sekarang saya sudah kembali ke tanah air. Tapi hati saya masih tertinggal di lorong Topkapi, di pelataran Masjid Biru, di langit Cappadocia. Dan saya tahu, perjalanan ini akan terus hidup dalam doa dan ingatan saya.

Saya tak hanya membawa pulang oleh-oleh. Tapi juga pemahaman baru, semangat baru, dan tentu saja—kerinduan untuk kembali.